“Ikhlas itu memang butuh pernapasan panjang, ikhlas itu berat, berat banget. Apalagi mengikhlaskan kamu untuk dia. Akan tetapi, yakin cepat atau lambat aku pasti bisa dan kelak akan menemukan seseorang yang lebih baik dari dirimu.”

***

“Wes Mbak Maira, ojo nangis maneh. Sapu tangan yang tak kasih kemarin dibawa ndak?” tanya Gus Hamam.

( Sudah Mbak Maira, jangan menangis lagi. Sapu tangan yang tak kasih kemarin dibawa ndak)

Aku hanya mengangguk, karena bibir ini tak mampu untuk berucap sepatah kata pun.

“Yo wes, diusap dulu kui air mata sampean. Opo mau ke kamar mandi?Biar lebih seger mukanya ndak lungset ngunu,” sambunganya.

(Ya sudah, diusap dulu itu air mata kamu. Apa mau ke kamar mandi? Biar lebih segar wajahnya tidak lungset gitu)

Aku menggeleng, lalu mengeluarkan sapu tangan biru muda dari sling bag dan perlahan mengusap air mata yang membekas pada pipi ini.

“Gimana, mau masuk sekarang?” tanya Gus Hamam.

“Gus, boleh ndak saya nunggu di sini saja,” mohonku sambil menatap beliau.

Terdengar Gus Hamam menghela napas panjang.

“Nanti Umi nyari sampean. Justru saya yang akan dimarahi Umi karena meninggalkan sampean sendiri di sini.”

Hening!

“Istighfar Mbak. Saya paham apa yang sampean rasakan, tapi inilah takdir Tuhan. Kita manusia biasa harus berusaha ikhlas tentang apa yang telah ditetapkan untuk kita,” jelas Gus Hamam.

Aku menunduk sambil memejamkan mata sejenak. Kemudian mengambil napas dalam-dalam dan menghembuskan dengan perlahan. Aku mengulanginya berkali-kali. Ikhlas, ikhlas, ikhlas …. Ya Allah. Aku membuka mata kembali, lalu memasukan sapu tangan dan kotak kado kedalam tas Kembali.

Setelah bisa mengusai rasa yang berkecamuk dalam dada ini. Dengan berat hati, akhirnya aku pun memutuskan untuk ikut masuk ke rumah Ning Hasna bersama Gus Hamam. Aku pun mengekor di belakang beliau. Dengan langkah ragu aku tetap melangkah masuk ke ruang tamu. Dimana akan dilaksanakan acara ijab qobul. Terlihat sang pengantin laki-laki duduk berhadapan dengan Kyai Dahlan untuk melangsungkan Ijab.

Suasana kediaman Ning Hasna sangat ramai. Para keluarga berkumpul menyaksikan hari bahagia putri mahkota Pesantren Roudlotut Tholibin. Tanpaknya rombongan dari pengantin laki-laki pun sudah memenuhi tenda yang tadi aku lewati.

Gus Hamam duduk lesehan sebelah kiri khusus untuk laki-laki. Sedangkan aku duduk lesehan di samping Umi sebelah kanan yang dikhhusus untuk tamu perempuan. Tak lupa sebelumnya aku bersalaman kepada para tamu juga keluarga Ning Hasna yang ada diruangan ini. Sang pengantin pria beserta wali dan saksi berada tepat di tengah. Ternyata acara ijab qobul baru akan dimulai.

Bisik-bisik terdengar ke indra pendengaranku tentang diri ini yang disebut sebagai calon mantu Umi Ma’summah. Mereka berasumsi seperti itu karena mungkin aku masuk bebarengan dengan Gus Hamam. Aku tak menghiraukan itu. Karena saat ini, diriku hanya fokus pada bagimana caranya agar air mata ini tidak tumpah ruah membasahi pipi.

Aku menunduk tak mampu melihat pemandangan yang menorehkan luka di hati. Tiga kali Kak Nuafal ijab baru berhasil, dan kami yang menyaksikan berkata ‘sah, sah, sah’ syukur Alhamdulillah ucap semua orang yang menyaksikannya. Karena sempat bersitegang sebab Kak Naufal selalu salah sebut nama sang pengantin wanita.

Saat aku masuk ke ruang tamu ini, tanpa sengaja padanganku dan Kak Naufal saling bersitatap untuk beberapa detik saja. Mungkinkah kehadiranku membuyarkan konsentrasinya dalam menyebut nama ratunya? Allah …. Aku sudah ikhlas melepasnya. Akan tetapi, sesakit ini kah rasanya …. Bibirku memang berucap ikhlas, tapi hatiku sangat terluka dan hancur.

***

Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *