
Sahabat Pendidikan – Biasanya, Nafisah yang tak bisa makan sendiri, tapi sekarang Saniah ikut-ikutan tak enak makan. Biasanya mereka akan bertengkar hanya karena tak mau mengambil nasi.
“Kamu saja! ” Kata Nafisah duduk mengunci kedua tangannya di depan dada.
“Nggak mau! ” Jawab Saniah dengan posisi yang sama, jika sudah seperti itu, Nafisah akan meluncur menggelitik Saniah sampai dia mau berdiri mengambil nasi.
Sekarang, dia hanya bisa menatap kosong rice cooker di depannya, air mata mengalir hangat. Sekarang, pacarnya itu sudah ada yang menemani makan, lagi pula makannya pasti akan sangat lahap, atau justru malu-malu tapi beralasan habis nguras perut, jadi makannya banyak. Meskipun dia hanya akan di sana seminggu, tapi tetap saja, sifatnya yang manja membuat Saniah khawatir, bagaimana tanggapan kedua orang tua dan saudara Gus Jalal mengenai kelakuan Nafisah yang sering menjengkelkan.
“Gus, titip Nafisah, nggih. Dia bukan wanita biasa, adekku itu selalu mendapat perhatian lebih dari Abah dan Ummi, tolong jaga perasaannya. Dia masih seperti anak-anak, tapi kulo yakin, njenengan bisa momong dia dengan baik, tolong pastikan jika dia menangis, njenengan peluk dia, nggih, Gus! ” Katanya kepada Jalal di ruang tamu beberapa saat setelah acara lamaran selesai, disana hanya ada dia, Jalal, Idris, dan Yusuf, tapi kedua anak itu sedang asyik mengobrol.
“Ning, Ummi mencari buku yang katanya dipinjam Ning Nafis. ” Kata seorang santri membungkuk disampingnya.
“Oh, iya mbak, saya ambilkan dulu ya, ummi dimana, biar nanti saya yang antar! “
“Mboten ning, biar saya saja yang mengantarkan! ” Cegahnya.
“Jangan mbak, saya saja, ummi dimana? “
“Kata ummi ditaruh di meja gubuk belakang, ning. “
“Iya mbak, nanti saya antar, makasih ya mbak! ” Santri itu berjalan mundur meninggalkan ruang makan. Begitulah sapaannya, Ning Saniah, putri Abah dan Ummi yang juga sangat mereka cintai. Meskipun sudah dianggap seperti anak sendiri, tapi Saniah yang juga memiliki kamar sendiri di ndalem tetap menempatkan diri sebagai seorang santri, bagaimana tidak, dia tahu betul, tak ada hubungan darah apapun antara dia dan kedua malaikat tanpa sayapnya itu. Dia selalu ingin memeluk sosok yang sudah dia anggap ayah itu, tapi nyatanya mereka bukanlah mahrom, bagaimanapun, anak angkat tetaplah tak bisa menjadi alasan dia menjadi mahrom keluarga yang mengangkatnya. Meskipun sangat dihormati sebagaimana seorang putri kyai, Saniah sangat tawadhu’ dan jauh dari kata kemening. Sikap rendah dirinya malah menambah hormat para santri kepada Saniah, putri kedua yang terlihat sebagai putri pertama bagi orang-orang yang mengenal mereka.
***
Saniah berjalan lemas kebelakang rumah, tangannya mendekap sebuah buku berwarna hijau muda, matanya menatap kosong kedepan.
“Byurr…. ” Terdengar suara keras dari arah kolam lele.
“Astaghfirullahal ‘adzim… ” teriaknya, al-qur’an kecil yang ia bawa terlempar ke kolam. Seorang lelaki berkaus putih dengan celana kain panjang terkejut mendengar Saniah berteriak.
“Ada apa, ning? ” Tanyanya hampir terjungkal karena kaget.
“Nggak papa, kang, saya kira anaconda tadi, habis ada bedomo besar di kolam lele! ” Katanya terengah-engah sambil terduduk di tanah. Saniah memang kagetan, dia akan terkulai seperti orang hampir pingsan jika sangat terkejut. Lelaki itu tertawa terbahak-bahak mendengar Saniah menyebutnya anaconda.
“Mana ada anaconda se ganteng ini, ning! ” Slorohnya mengusap rambut kebelakang.
“Ya Allah, kang Saif, saya hampir jantungan, sampean malah ketawa! ” Katanya masih terduduk sambil mengusap dada.
“Maaf nggih, ning! ” Katanya ganti menunduk dengan simpulan senyum.
“Nggak papa, kang, saya yang kagetan, silahkan dilanjutkan… “
“Bukunya ummi.. ” Teriak Saniah berlari ketepian kolam, bagaimana bisa dia sampai lupa buku ummi terlempar ke kolam lele. Saif juga bahkan sampai tak sadar sebuah buku mengambang didepannya. Setelah sadar buru-buru dia mengambil buku didepannya, tak ada rasa takut ataupun menyesal sama sekali di wajah lelaki yang biasa disapa “Gus Say” itu.
“Maaf, ning! ” Katanya terkekeh menyerahkan buku yang sudah basah kuyup itu.
“Harusnya tadi sampean tangkep kang! ” Lirihnya berharap tak terdengar, tapi lelaki itu bisa menangkap jelas dari gerak bibir Saniah.
“Yah bagaimana, saya keburu terpana dengan kehadiran sampean, ning, makanya nggak sadar ada buku terbang, jangankan buku, gajah terbang pun pasti nggak kelihatan! ” Katanya dalam hati.