
***
Saniah bersimpuh menunduk dihadapan ummi, dia menyodorkan buku yang sudah basah kuyup.
“Ummi maafin Sani, “tak ada jawaban apapun, buku ditanggannya juga tak segera diambil. Tiba-tiba sebuah pelukan menghampiri tubuhnya. Terdengar is akan dari wanita paru baya itu.
” Ummi… ” Lirih Saniah.
“Kalau kamu ada apa-apa, cerita ke ummi, nduk… ” Deg, kali ini matanya ikut basah.
“Aku ini ummimu, aku ummimu! ” Lirihnya mengelus punggung Saniah.
Saat itu, murottal dikamarnya terdengar lebih keras dari biasanya, ummi yang menangkap kejadian itu langsung paham, beberapa tahun silam, hal serupa hampir membuat ummi Sihah marah, kenapa terlalu keras menyetel murottal, bagaimanapun takut mengganggu para santri yang sedang menderas sendiri hafalan mereka. Tapi saat mau menyentuh gagang pintu, terdengar sebuah isakkan yang membuatnya mengurungkan diri. Pagi harinya, mata bengkak Saniah menjawab segalanya, meskipun katanya gatal-gatal terkena debu, ummi Sihah tetap khawatir dengan kebohongan yang ia tutupi.
Semenjak saat itu, setiap kali terdengar suara murottal yang sangat keras, ummi selalu membiarkannya, meskipun sebenarnya dia tahu, anaknya sedang mengalami hal sulit. Ia sangat ingin menanyakannya, tapi selalu takut, bagaimana jika dia tak mau cerita dan justru malah membuatnya merasa tak nyaman. Tapi kali ini, ummi Sihah tak tahan lagi, ibu macam apa yang tega mendengar tangisan anaknya. Padahal seharusnya seorang ibu yang menjadi sandaran.
Setelah tangisan keduannya mereda, mereka duduk berdua di gubuk belakang, Gus Say sudah tak terlihat dan kolam lele sudah kosong, sepertinya mereka sedang berpesta dengan lele goreng, lele bakar, dan aneka macam olahan lele lainnya.
“Maafkan ummi, nduk. Ummi tak sengaja mendengarnya. “
“Nggak papa ummi, Saniah yang minta maaf, udah merepotkan Abah dan Ummi selama ini. ” Lirihnya dengan mata sembab.
“Siapa bilang kamu merepotkan Abah sama ummi? Kamu itu putri Abah, putri ummi, jangan pernah bilang begitu! ” Katanya mengusap kepala Saniah.
“Kamu mungkin bukan putri kandung ummi, tapi Abah dan ummi sangat menyayangi Sani, tak berbeda sedikitpun dengan rasa sayang untuk Idris, Yusuf ataupun Nafisah, kalian berempat sama dimata Abah, ummi juga! ” Kata-kata ummi berhasil membuat air mengalir deras dari pelupuk matanya. Dia sadar betul, itu bukan sekedar kata-kata, semua yang telah ia Terima dari Abah dan ummi memang terasa sangat tulus, tak pernah dia merasa tersakiti ataupun merasa dibedakan. Tapi entah kenapa itulah yang membuat hatinya sakit, bagaimana bisa ada manusia sebaik mereka?
***